Sukut-Sukuten Pakpak : Putri Raja dan Burung Sigurba-Gurba Berkepala Tujuh
Ilustrasi |
Di sini saya akan mencoba menuliskan sebuah cerita rakyat ataupun sukut-sukuten yang berasal dari daerah Pakpak. Semoga dapat bermanfaat bagi kita agar kita dapat memperkenalkan kekayaan budaya kita, dan tentunya agar cerita rakyat itu tidak sampai hilang ditelah jaman.
Putri Raja dan Burung Sigurba-Gurba Berkepala Tujuh
Dahulu kala, hiduplah seorang pemuda yang
sangat tampan dan pintar dalam hal memainkan seruling. Pemuda ini hidup
sebatang kara dan berkelana dari satu desa ke desa yang lain.
Suatu hari ketika pemuda itu pergi menuju suatu
desa, yang mana desa itu tersebut dihuni masyarakat yang banyak, yang dipimpin
seorang raja yang arif dan bijaksana.
Raja negeri itu mempunyai seorang puteri yang
cantik dan rupawan, baik tutur katanya dan menjadi panutan di seluruh negeri
tersebut. Di pinggir desa mengalir sebuah sungai yang menjadi tempat pemandian
puteri raja tersebut, tak seorang pun berani mandi di tempat pemandian sang
puteri raja.
Suatu hari sampailah pemuda yang berkelana tadi di
sebuah muara sungai, yang mempunyai tiga cabang arah sungai. Sang pemuda pun
bingung, arus mana yang diikutinya. Diperhatikannya arus sungai tersebut,
sebelah kanan airnya jernih dan banyak daun-daun yang mengalir. Sebelah kiri
airnya merah dan di tengah airnya keruh dan banyak buih-buih yang bergelombang
menandakan adanya yang mandi di di hulu sungai.
Si pemuda pun memutuskan mengikuti arus sungai
yang di tengah, begitulah setelah beberapa hari berjalan, sang pemuda pun
sampai disuatu tempat terlarang bagi orang biasa untuk didatangi, karena
tersebut adalah pemandian putri raja. Si pemuda pun memutuskan untuk
bersembunyi di tempat tersebut. Alhasil tiada beberapa lama berselang sang
putri rajapun datang untuk mandi, ditemani oleh dayang-dayangnya.
Si pemuda pun keluar dari tempat persembunyiannya
dan alangkah terkejutnya putri raja mengetahui hal itu, dan belum hilang rasa
terkejutnya, si pemuda pun berkata:
“maafkanlah aku ini hai putri yan cantik dan
jelita, bukannya aku berniat jahat, tetapi aku ingin mengetahui desa apakah ini
dan siapakah gerangan putri yang cantik dan rupawan ini?”
“Siapakah sebenarnya engkau yang berani datang ke
tempat pemandianku ini?” Tanya putri raja tampa memperdulikan pertanyaan pemuda
tersebut.
“Aku adalah seorang pengelana yang terdampar di
negeri ini dan kalau dibolehkan aku ingin singgah sebentar dan berkenalan
dengan masyarakat disini”. Jawab si pemuda.
Esok paginya seperti biasanya putri rajapun pergi
ke tempat pemandiannya, tapi alangkah terkejutnya putri raja melihat pemuda kemarin
sudah ada di situ duduk memainkan serulingnya dengan merdu. Akhirnya sang putri
pun mengajak pemuda tadi ke tempat orang tuanya. Sang rajapun menjamu pemuda
tersebut di istana dengan meriah, dan memperkenalkannya dengan permaisuri serta
pejabat negeri tersebut. Tidak hanya sampai di situ, sang raja pun mengijinkan
pemuda tersebut untuk tinggal di negeri itu, dan memberikannya sebidang tanah
untuk diusahai dan dikelola oleh si pemuda tersebut. Setelah beberapa bulan
berlalu, sang raja kemudian menjodohkan putrinya dengan pemuda itu. Raja
menghadiahi banyak harta berupa sawah, rumah bahkan pengawal dan dayang-dayang
untuk membantu sang putri dengan si pemuda tadi.
Namun sifat manusia tak dapat kita pastikan. Begitu
jugalah yang terjadi pada pemuda pengelana tadi. Setelah beberapa tahun
berlalu, sifat menantu rajapun sudah mulai berubah. Dia mulai suka minum
minuman keras, mabuk dan suka berfoya-foya serta penjudi. Sang putri sudah
berkali-kali menasehati suaminya agar berubah dan meninggalkan kebiasaan
buruknya tersebut, namun tak pernah didengarkan dan digubris, bahkan makin
menjadi-jadi. Hal ini membuat sang putri raja menjadi sakit hati dan menjadi
putus asa. Timbullah niat sang putri untuk pergi meninggalkan suaminya itu untuk
selamanya karena sang putri melihat tak ada lagi pertobatan dalam diri suaminya.
Putri rajapun mengambil keputusan dan memanggil
burung peliharaannya dari gunung yang selama ini berada di sana. Peliharaan
putri raja tersebut adalah seekor burung raksasa berkepala tujuh, yang diberi
nama “Burung
sigurba-gurba sipitu takal” oleh putri raja. Sigurba-gurba sipitu takal
pun membawa sang putri untuk terbang meninggalkan suaminya. Akan tetapi belum
beberapa jauh mereka terbang , terdengarlah suara seruling yang dimainkan oleh suaminya.
Suara seruling yang dimainkan oleh suaminya tersebut amatlah merdu dalam
pendengaran sang putri. Kemudian sang putripun menyuruh burung peliharaannya itu
untuk turun kembali dan hinggap di pohon nyiur keppal.
Sang Putri melihat suaminya duduk memainkan
seruling seraya memintanya untuk turun. Tapi sang putri tidak mau, setelah puas
memandang suaminya diapun meminta burung terbang kembali, akan tetapi kembali
ia mendengar suara seruling yang mendayu-dayu dan hal ini membuat sang putri
rindu dan kasihan melihat suaminya.
Burung peliharaannya pun kembali disuruhnya untuk turun
hinggap di pohon nyiur Gading. Suaminya pun memohon sang putri untuk turun dan
berjanji akan bertobat dan meninggalkan kebiasaan buruknya selama ini. Tetapi
sang putri tidak mau mendengarkan perkataan suaminya dan meminta kembali burung
peliharaannya untuk terbang. Namun seperti semula kembali terdengar suara
seruling suaminya memanggilnya dan hal ini membuat sang putri terpaksa turun
kembali bersama peliharaannya dan hinggap di pohon nyiur ijo. “Wahai suamiku
yang tercinta, apa boleh buat sudah nasib dan rejeki badan kita berpisah, kala
engkau rindu pakdaku , carilah nyiur keppal, nyiur gading dan nyiur ijo. Minumlah
airnya sebagai penawar rindumu dan dikala engkau sakit, buatlah buahnya sebagai
obat”
Selesai berpesan kepada suaminya, sang putripun
terbang bersama burung peliharaannya dan tak pernah kembali dan tinggallah
suaminya dengan penyesalan yang sangat menyiksa hatinya. Tapi apa boleh buat,
nasi sudah menjadi bubur. Yang sudah berlalu tidak mungkin dapat dikembalikan
ke awal.
Alkisah buah nyiur keppal, nyiur gading
dan nyiur ijo bisa dijadikan menjadi obat penawar sakit dan sampai sekarang
banyak dipakai manusia sebagai ramuan obat-obatan.
Disadur dari buku : “Kumpulan Cerita Rakyat Pakpak” dengan
pengeditan seperlunya.
(SMB)